Sabtu, 25 April 2009

entah siapa

beri aku kekuatan agar tidak hilang kendali
ketika segala inginku membuncah padamu
katika harapku tumpah kepadamu
ketika sandarku bertumpu padamu
ketika dayaku ada padamu
tapi kau entah dimana
pergi bersama orang asing yang tak ku kenal
yang bawa kamu
sisakan kekosongan padaku

entah kemana pergimu
tak tersusul
tinggalkan aku, mencari-cari
dalam kenangan

beri aku kekuatan
saat kuhadirkan bayangmu
padahal senyatanya kau dibawa pergi
sisakan dingin
gigil di tangan dan kaki

Jumat, 24 April 2009

Haruskan bicara?

Dari orang lain aku belajar berinteraksi. Tidak bisa dipungkiri dalam interaksi sering terjadi kesenjangan antara apa yang ingin disampaikan dan apa yang sesungguhnya tersampaikan. Aku belajar untuk berjaga-jaga dan meminimalkan konflik yang mungkin terjadi dalam suatu interaksi.

Kadang niatan hati tak sepenuhnya dapat disampaikan dengan tepat. Adakalanya ketidakmampuan mengungkapkan perasaan malah justru menimbulkan masalah. Maksud hati mencintai tetapi ternyata tak bisa mengungkapkan perasaan sayang dengan tepat. Biasanya berubah jadi makan hati karena teman ternyata tidak respect, atau malah jadi bingung sendiri karena apapun yang dilakukan dinilai salah oleh orang lain. Menarik diri menjadi satu hal yang menggiurkan. Namun, orang lain juga jadi bingung dengan perubahan-perubahan yang "tidak diketahui" sebabnya. Kebuntuan ini jika dibiarkan berlarut-larut akan memburuk keadaan. Tidak hanya melanda diri pribadi tapi juga secara otomatis akan mempengaruhi orang lain. Lebih baik bicara agar sama-sama tahu apa yang sedang terjadi. Tidak hanya dongkol yang dipendam. Bagaimana bisa tahu kalau keduanya hanya diam sambil melancarkan aksinya masing-masing.

Dengan bicara mudah-mudahan kita dapat lebih berbagi dan mengerti. Bicara memudahkan kita mengetahui apa yang dirasakan orang lain dan mereka pun jadi tidak bingung dengan apa yang sedang kita rasakan.

"bagaimana dia bisa tahu kalau aku tidak ngomong" :)


Agenda selanjutnya: bagaimana cara ngomong agar pembicaraan dapat tetap sareh meski nyatanya sedang dirundung masalah. Sedang dalam tahap latihan.

Sabtu, 18 April 2009

Beringin: angker tapi....

Pertama kali aku masuk kampus di Salatiga, sebuah pohon beringin yang berdiri di pinggir jalan masuk sudah begitu menarik perhatianku. Pasalnya pohon tersebut begitu besar. Akar gantungnya yang lebat seolah memvisualisasikan otot-otot leher yang sedang menegang, lengan yang kokoh, dan umur yang tua. Pohon beringin tersebut menyumbangkan kesejukan di sekitarnya.

Di bawah rimbunan pohon tersebut, terdapat sebuah wadah kegiatan teater. Awalnya, aku mulai mewakili workshop meski belum menjadi anggota teater. Bermula dari interaksi sederhana akhirnya memberiku alasan untuk kembali belajar teater seperti yang dulu kulakukan sewaktu di SMK. Selanjutnya, aku bergabung dengan mereka. Niat awalnya ingin belajar keteateran, tapi ternyata apa yang kutemui malah berbeda.

Aku menemukan dunia tanpa kata-kata. Bahasa terbentuk melalui "laku". Menjemput ketika kemalaman, makan bersama ketika 'kelaparan', merawat ketika sakit, dan membantu. Semua saling membantu... seolah semuanya terjadi begitu saja: tanpa kata, tanpa permintaan, tanpa terima kasih. Aku melihatmu, kamu melihatku, kemudian kita sama-sama mengerti. Mengalir dan terjadi begitu saja.

Aneh, kali ini aku merasa tidak sedang hidup sendiri. Keluarga ini menjelma menjadi pohon beringin yang dibalut label angker (dan mungkin memang angker), tetapi begitu memberi tempat bagi siapa saja yang mau berlindung. Entah itu burung pipit yang indah, ulat, serangga, semut, rayap, ataupun tikus yang merusak. Semua menemukan kedamaian di sana.Terdapat begitu banyak tempat untuk orang-orang yang singgah di sana.

Di tempat ini, segala sesuatu bisa terjadi. Seperti yang dikatakan salah satu temanku: "di tempat ini, kawan, kau bisa menemukan Tuhan atau bahkan membunuhnya."


Kamis, 16 April 2009

ada damai disini

Terima kasih pada apa pun yang telah mengantarkanku pada saat ini. Entah itu malaikat ataupun setan.
Seolah aku telah berjalan demikian jauh, mengarungi waktu-waktu yang tak akan kutukar dengan apapun.

terima kasih
pada keluargaku yang lain-yang rupanya baru saja kutemukan:
padamu yang mengajariku berterima kasih pada masa lalu
padamu yang menunjuk dan menyebut 'ibu' pada perempuan yang telah melahirkanku
padamu yang mengajariku tersenyum pada diriku sendiri
padamu yang mengantarkan aku pada dunia baru--bukan sekedar kata dan kesatuan dari beragam materi melainkan ada kehidupan di sana

aku bukan murid yang baik, (untuk itu aku bersyukur atas adamu, atas rancangan Tuhan untuk menciptakan aku, dirimu, kalian)
di sini ada nyaman, ada tawa yang berderai di sela kemarahanku yang mengguntur
ada tepukan bahu di tengah kecemasanku yang meneror-menebar busuk
ada rangkulan yang mengerat ketika aku menjauh dan menarik diri
ada genggaman tangan ketika aku limbung
ada pemahaman ketika aku ingin berteriak dan membenci semua yang kutemui

ada kamu, ada kalian ketika aku berpikir untuk tidak ada saja dari hidup ini.

Lepaslah seperti busur anak panah

---

Jadilah apa yang kamu inginkan. Kamu berhak memilih jalan yang terbentang di depanmu.
Aku adalah busur dan kau adalah anak panah milik Sang Hidup
Jadilah dirimu sendiri, jadilah penentu jalanmu, hidup adalah pilihan
Kamu berhak memilih untuk sukses-gagal, untuk bahagia atau tidak bahagia, untuk berbagi atau untuk kau miliki sendiri.
Pilihanmu adalah hakmu; dan kau bertanggung jawab terhadap setiap pilihan, tindakanmu.

Aku dari tanah dan akan kembali ke tanah. Akulah yang pernah menjadi rumah kehidupanmu, melindungimu dengan cinta, dengan rasa, bila perlu akan kuberikan jantungku, napas untukmu agar kamu lebih baik
Anak-anakku.... Akulah tanah airmu, akulah darahmu; yang pernah merasai detak jantung dan alian darahmu saat di rahimku..... seperti kau pernah merasai detak jantung dan aliran darahku.

---
naskah Ibu Bumi
Candra Harjanto

Perempuan; teriakan yang tak terdengar

----
Aku seperti perempuan-perempuan lain; sebut saja aku Marsinah, perempuan yang mati dengan vagina yang dirobek, buruh jam mati dalam hitungan jam. Sebut saja aku TKW Arab Saudi, Hongkong, Malaysia, Singapura tanpa perlindungan hukum yang jelas,
Sebut saja aku, aku pelacur tanpa orgasme, bukan Cleopatra yang bisa menguasai Eropa, bukan Bunda Theresa dengan kelembutan hatinya, juga buka Aisyah istri nabi yang setia.
Tapi disini-di tempat ini, aku yang dikuasai aku, dikuasai keterpaksaan yang aku buat-buat. Seolah-olah aku tanpa beban.

Dimana Kau Tuhan pada saat-saat begini. Dimana Kau Tuhan pada saat-saat seperti ini...
Dalam hati yang kulihat hanya wajah-wajah lelaki yang meregang; Aku bukanlah firman Tuhan yang wajib kau lakukan-kau buru. Kemana tubuhku yang kemarin disiram air hujan yang diredakan gerimis...
Pada akhirnya tubuh. Tubuhku, tubuhmu, adalah misteri yang menyimpan makna seluas imajinasi, seperti agama, seperti Tuhan dimana lelaki yang lebih kuasa.

Lihatlah aku disini...

----
Bait-bait di atas merupakan sekelumit potongan naskah berjudul Perempuan tanpa Orgasme oleh Candra Harjanto.

Perempuan tanpa Orgasme
Candra Harjanto