Kamis, 31 Oktober 2013

Morning Breeze


 
Beberapa tahun yang lalu aku selalu mengikutimu. Aku pergi kemana engkau pergi dan melakukan apa yang engkau lakukan. Persis seperti keponakanku (3,5 tahun) yang selalu mengikuti dan meniru apa yang kulakukan :). Aku tidak bermaksud apa-apa, sebenarnya. Hanya saja, aku selalu senang melihatmu. Aku tak pernah bosan.

Kamu terlihat indah. Gerak-gerikmu tenang. Diammu khikmat. Aku melihatnya di sorot matamu yang dalam. Iris cokelat kekuningan dibingkai buku mata tebal, hitam, dan panjang. Tidak lentik, tapi panjang. Ah, ya... sepertinya pandanganmu yang sedikit menunduk. Itu yang selalu membuatku tertarik.

Aku masuk dan berenang di kedalaman sorot matamu, menghirup wangi setiap sudutnya, dan menenggelamkan diri disana. Aih,... apa pula ini :) Sejuk,segar, dan lembut. Seperti minum sepuasnya hingga tak ada dahaga, seperti tidur di atas kain yang empuk dan lembut yang baru saja diangkat dari jemuran, seperti berlari-lari di antara pepohonan yang tersiram mentari pagi, seperti menari dan tertawa sepuasnya, seperti terlempar dan terbang, terlempar lagi, terbang lagi.

Adamu membuatku berhenti berpikir. Tidak bisa berpikir, malah. Hanya tertawa, tertawa, dan tertawa sepuasnya, sedalam-dalamnya hingga hampir menangis rasanya. Bagaimana bisa hidup jadi seindah ini? Hatiku membuatku tenggelam dalam lautan kebahagiaan. >>> [Kebahagiaan ini saja sudah demikian tinggi hingga seolah hampir tak tertampung. Kemudian, bagaimana dengan kebahagiaan ruh ketika kembali pada Tuhannya. . . . . . . . . . . . , ih iya, malaikat tidak pernah berbahagia, kan . Jadi, meskipun menjadi manusia sangatlah berat, namun kebahagiaan ini adalah kompensasi yang sangat besar. Terima kasih, telah memberi kami bahagia.]

Aku bahagia. Apakah aku membuatmu bahagia?

Rabu, 30 Oktober 2013

Menjelma Shalala


 

Sering kupejamkan mata dan membayangkan wajah orang-orang yang datang dalam kehidupanku. Ada yang kuingat senyumnya, ada yang kuingat ekspresi marahnya, ada yang murung, dan ada yang berpaling. Yang paling kusuka adalah mengubah bayang seseorang yang tadinya murung atau sedih menjadi bayang saat dia tertawa lepas gembira. Aku bisa turut terseyum ketika melihat bayang wajah mereka yang menjadi berseri-seri. Selanjutnya, baru aku berdoa agar kebahagian yang sangat itu melekat.


Aku bertanya-tanya mengapa aku tidak dapat mengingat senyum bahagiamu, yak? Selalu saja dalam kepalaku tergambar sorot matamu yang sedikit menunduk dan senyum yang rampung setengah. Ah, kamu sibuk memberi kebahagiaan pada orang-orang di sekitarmu sih, jadinya lupa hak-hak hatimu sendiri :) Ya, kamu memang bahagia, tapi ekspresimu selalu saja rampung setengah. 

Hm.....aku jadi ingin membuatmu tertawa lepas, bergerak dengan ringan. Aku ingin memberimu kebahagiaan, membalurimu dengan kasih sayang sebanyak-banyaknya hingga kamu merasa sangat penuh, jenuh, dan sebal. Saking sebalnya, sampai-sampai kamu menjauh. Pasti ekspresimu akan lucu sekali. :D Kamu bebas pergi, bebas kapan kembali. Akan selalu ada yang menantimu di rumah. :D

Capaian itu masih sangat-sangat jauh. Yah, saat ini aku sedang belajar, mungkin diawali niat ini. Anggap saja sekarang giliranku. Selama ini engkau yang mengasuhku, mendengar keluh kesahku, dan membuatku nyaman, kan? Sekarang giliranku. Semoga bisa benar-benar terwujud. Kemudian kita berdua mencapai bahagia bersama. :D

Hei kamu :) , ayo kita tertawa. Tertawa saja. Sekencang kencangnya, selepas-lepasnya. Kita pilih jargon untuk kita, ya...: Lot of Love, Lot of Laugh.

Sabtu, 26 Oktober 2013

menerima si dia?

Kenyataan bahwa kekasih mencintai orang lain merupakan suatu pukulan telak. Rasa dikhianati, direndahkan, ditolak, dan disepelekan membuncah jadi satu di dalam dada yang makin terasa sempit. Perasaan terbuang menyeruak, mengerdilkan bayangan kita di mata kita sendiri. Kepedihan ataupun perasaan marah menggelegak, sisakan panas di dada yang membuat sesak.

Kita yang mengenal kekasih kita, kita sendiri yang mampu menentukan apakah hal itu masih dapat ditolelir ataukah tidak. Kita bisa memilih mengakhiri ataupun berkompromi dengan hal itu. Kita bisa putuskan dia, campakkan dia sebagaimana dia telah mencampakkan kita dengan dinginnya.Jika memilih itu, kitapun harus terima konsekuensinya. Sudah ya sudah. Tidak perlu mengungkit-ungkit hal yang itu. Berakhir ya berakhir. Berakhir artinya kita tidak lagi merana karena dia tidak membalas telepon kita, tidak berandai-andai dia kembali dengan kita, tidak berkubang dalam kenangan-kenangan yang memilukan kita, tidak memutar lagu yang menyayat kita, tidak meratapi fotonya dengan berlama-lama. 

Sudah ya sudah. Berakhir ya berakhir. Katakan "cukup!" pada kepedihan dan berjalanlah. Kita sudah memilih. Kita hadapi konsekuensi pilihan kita.

Atau... kita akan berkompromi dengan kejadian itu? Kita memilih menerima kesalahan kekasih kita dan memaafkannya dengan pertimbangan yang "rumit dan bermacam-macam". Jika kita percaya dan objektif bahwa kekasih akan kembali kepada kita, kesalahannya bersifat temporal (tidak merupakan kebiasaannya), dia beritikad kembali kepada kita, dan dia memang pantas untuk dipertahankan; maka kita bisa memilih memaafkannya.Tapi proses memaafkan ini (relatif) sama rumitnya dengan proses bangkit kembali ketika kita memutuskannya. Bagaimana tidak? Kita tidak bisa berharap dia akan langsung berhenti mencintai "yang lain" setelah kita berkata "jangan!" atau "awas!". Dia perlu waktu untuk berubah dan kita perlu sabar untuk menunggunya berubah sedikit demi sedikit. DAN biasanya waktunya lama-(relatif)-sangat lama. Kita tidak hanya bersabar dalam "menunggu", tetapi juga bersabar dalam "usaha membantu dia kembali kepada kita". Memperbaiki perilaku, penampilan, membuatnya lebih nyaman. Lebih lagi, kita bisa belajar mencintai orang yang dia cintai. Berkenalan dengannya, menjadi sahabatnya, atau sekadar bertukar sapa. :) Mengendalikan rasa sakit, meluruhkan benci, dan tersenyum. Beranikah kita bersabar untuk itu? :)

Clue: Jadilah "pemberani". Tentukan pilihan kita, hadapi konsekuensinya. Face it!