Selasa, 16 Desember 2014

I've got married!




Sejak selesai studi pada tahun 2012 aku selalu memimpikan pernikahan yang pada waktu itu mimpi tersebut menjadi demikian menggoda hingga terasa menyesakkan. Menyesakkan karena demikian diinginkan, tetapi tak kunjung terwujud. Serasa berdiri di depan etalase toko, memandangi sepatu cantik yang tak terbeli. Rayuan demi rayuan kepada orang tua yang berakhir mengambang. Beberapa kali putus asa pula. Beberapa kali menyerah.
Tahun 2013 proposal kembali diajukan sembari membawa harapan baru berupa sebuah pernikahan karena studi di Yk telah separuh terlampaui. Rupanya berakhir dengan sekali tiga uang. Belum disetujui.
Keputusasaan demi keputusasaan menyatu lapis demi lapis hingga akhirnya terasa jenuh untuk berputus asa. Dengan semangat terakhir yang masih tersisa kusisihkan sekalian harapan-harapan itu. Biar tidak ada lagi kecewa, maka dikuburlah keinginan. Membisikkan bahwa sepatu menawan yang tak terbeli itu kekecilan, solnya tidak kuat, jahitannya tidak rapi, dan jelek. Berbisik lebih pada diri sendiri. Bayangan tentang pernikahan ditepis jauh-jauh kemudian memilih menyibukkan diri berkutat pada studi. Semakin jarang terucap kata-kata tentang pernikahan. Jarang, semakin jarang, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Pernah sempat pula sedikit apatis. Masih teringat jelasnya pembangkangan itu hingga terucap "Ya Allah.... kepingin barang sing apik we kok angele koyo ngene...." (Ya Allah, menginginkan hal yang baik saja, kok, susahnya seperti ini...." 
Betapa aku ingin menarik diri pada waktu itu. Menarik diri seluruhnya. Seperti ingin pergi dan tak kembali lagi. Untungnya mas tidak bosan-bosan mengingatkan kemuliaan pernikahan, "Atau mungkin begini, Nok, mungkin Allah sedang melatih kita untuk bersabar. Mungkin memberi waktu kita untuk meluruskan kembali niat pernikahan". Yah, memang mungkin seperti itu, pikirku kemudian. Kentara sekali aku mencoba menyisihkan buruk sangka itu, kendati dengan sedikit tidak rela. Jadilah selanjutnya aku berjalan saja. Hanya berjalan. Melalui hari-hari studi tanpa memikirkan pernikahan. Keinginan itu tetap ada, hanya tersisih rapi di sudut yang temaram. Mematung dengan manis. Mekar dalam diam.

Tahun 2014, 17 Mei. Wow, aku dilamar!
Proses yang sangat singkat, bagiku. Disela-sela mengerjakan tesis aku tiba-tiba hanya mendapat pesan untuk pulang pada tanggal-tanggal yang ditentukan. Rupanya ayah mas telah datang ke rumah dan tercapailah kesepakatan mengenai tanggal lamaran, ijab qabul, dan resepsi. Wow, wow, wow! Sekali lagi wow! Cepat dan seolah tidak nyata rasanya. Kemudian mas menelepon, memintaku untuk tidak memikirkan hal-hal lain kecuali tesis, selesaikan tesis secepatnya, bahwa segala sesuatu telah diatur, dan bahwa aku hanya perlu pulang ketika diminta pulang. Tanggal 15 Mei mas menyusulku ke Yk. Kita membuat janji bertemu untuk membeli barang-barang keperluan maharan. 
Cincin. Ah, aku selalu terkenang pada cincin itu. Cincin sederhana, banyak yang lebih mahal, tetapi hanya cincin itu yang menarik hatiku. Berkali-kali mengalihkan pandangan untuk mencari yang sedikit lebih mahal, tetapi akhirnya pandangan kembali ke cincin itu. Lagi dan lagi. Akhirnya diambillah cincin itu, sebuah keputusan yang masih menyisakan senyum ketika aku mengingatnya. Sebuah keputusan yang kadang mas sesali karena cincin itu terlihat terlalu sederhana. :) Begitulah cinta. Pikiranku mencoba menolak cincin itu, tetapi hatiku tak bisa berpaling. Jatuh cinta yang menyebalkan. Ah, aku selalu suka cincin itu.

I've got married! Jumat, 6 Juni 2014. 
Pernikahan yang tidak terduga. Yah, mungkin semua pernikahan akan selalu terasa 'tak terduga' oleh pelakunya. :) Hari Senin aku pulang dari Yk, Selasa ikut penyuluhan di KUA, dan Jumat aku dan mas sah menikah. Jika dihitung, hanya kurang lebih 20 hari sejak ayah mas datang ke rumah untuk berembuk hingga saat resepsi pada hari Minggu 8 Juni. Pada waktu resepsi, temanku yang dari Padangsidempuan datang membawakan garapan tesis milikku. Ah, benar-benar hari yang luar biasa, juga lucu.
Begitulah kira-kira sampai saat pernihakanku. Hari-hari yang berlalu seolah terbang berkelebat demikian cepatnya. Tesis dan waktu-waktu menunggu pernikahan yang seolah menjadi sesuatu yang mengambang. Tidak nyata, tapi kukerjakan jua. Entah perasaan apakah itu. Bukan sedih, bukan bahagia. Hanya berupa "entah".

Sabtu, 05 April 2014

Me and the Veil?



Memalukan sebenarnya menulis ini. Sayangnya perasaanku tidak surut ketika semua ini kudiamkan saja. Ingin bercerita, namun sepertinya ini bukanlah hal yang penting untuk diperdengarkan orang lain. Jadilah kutulis ini.

Aku berkerudung sejak semester dua kelas x. Entah apa alasannya, tau-tau aku dan teman se-gang berganti seragam muslim. Bukan jilbab besar, hanya kerudung biasa ketika sekolah dan pergi ke kampung sebelah.

Beberapa tahun di Salatiga, aku tetap berkerudung ketika kuliah dan keluar kost. Beli sayur di tetangga sebelah juga berkerudung rapi. Akan tetapi untuk saat-saat tertentu, misalnya latihan drama dan keperluan pentas, kerudungku terbang entah kemana. Copot, kemudian terpasang lagi setelahnya. Biasa saja waktu itu, meski aku telah merasa risi pergi ke warung dengan kepala polos. Pakai kaos pendek pun, kerudung terpasang. Aneh memang.

Sekarang ini di Yogyakarta aku masih sama dalam hal berkerudung. Namun, aku sudah tidak lagi latihan drama dan pentas. Seandainya latihan dan pentas pun, mungkin aku akan berkedurung sekadarnya. Mungkin. Rasanya tidak tega melenggang dengan PD-nya tanpa penutup kepala. Bahkan pernah beberapa saat aku merasa aneh dan tidak familiar melihat rambut perempuan menjuntai dan melambai-lambai tertiup angin, entah di jalan, entah di angkutan umum. Janggal rasanya.

Ironisnya, beberapa waktu ini kudapati diriku sedang memandangi foto-foto kawan-kawan di sosmed. Beberapa tanpa penutup kepala. Tak ayal bayangan menyeruak. Menggoda. Yah, seandainya aku seperti itu pasti gampang sekali memilih kostum. Terlihat menarik dengan seadanya. Pergi sebebasnya, bergaya semaunya, berfoto sebanyaknya. Tak kupungkiri ada sedikit iri. Ingin bilang juga pada dunia: "eh, aku juga sebenarnya seperti itu loh...", "eh, tampilanku bisa semenarik itu, loh...", etc. Tapi kenyataan menenggelamkan suara-suara itu. Non sense. Hanya tinggal gaung yang berulang berdentam di dalam kepalaku. Tak berarti apa-apa.

Yah, ternyata kerudung ini telah membatasi aku. Ada rasa sebal. Namun aku merasa beruntung, indeed. Semua ini menjauhkanku dari keinginan yang tidak perlu, bahkan keinginan yang cenderung membahayakan: diakui orang lain. Setelah orang lain mengakui bahwa aku bla bla bla dan bla bla bla, what's next? Nothing. Kosong melompong. Malah mendorong pada sombong. Bencana terbesar, bukan?

Jadilah aku menelan semua ini. Mungkin harus berpuas diri untuk diakui semata oleh suami (saja)? Sejauh ini,
sepertinya harus menenggelamkan diri rapat-rapat. Mencoba tidak muncul di permukaan.

Rabu, 02 April 2014

Lelaki yang Bersayap Empat



Pernah kulihat kamu, dulu sekali, mungkin pada awal-awal perjumpaan kita. Engkau berjalan membentangkan sayapmu yang berjumlah empat sementara aku memegangi salah satunya. Menggenggam ujung-ujungnya sambil mengibaskan sisi panjangnya membentuk gelombang-gelombang. Aku dan tiga orang lain. Sayapmu berwarna putih, kala itu. Melambai dan meliuk seirama jalanmu yang setengah menari. Perlahan mengitari kerumunan dan manusia yang lalu lalang.

Kamu terbang dengan sayapmu yang berjumlah empat. Indah memang. Bagaimana dirimu bisa menjadi seindah itu? Aku terpesona.

Ternyata tak seperti yang kubayangkan. Kupikir dirimu menikmati tiap detiknya. Merasai kemagisanmu. Ternyata tidak. Kulihat bilur-bilur merah dan ungu di perut dan pinggangmu. Sakitkah?

Itukah yang membuatmu demikian indah: kamu menari sementara menyimpan badanmu yang sebenarnya luka-luka? Itukah yang membuatmu demikian magis? Hingga bertahun kemudian bayangmu tidak mau pergi dari ingatanku, padahal hanya kulihat punggungmu kala itu. Itukah yang membuatku terduduk dihadapanmu: kau rampungkan putaran meski sebenarnya menyakitkan? Seperti itukah pula saat kamu bersamaku: menyajikan sorot matamu yang sejuk sementara menelan pahit dengan susah payah? Itukah yang membuatku mencintaimu, dulu dan sekarang ini?

Sabtu, 22 Maret 2014

Bisakah jamu menyembuhkan sakit hati?



Suatu ketika aku menangis sedari malam hingga sore hari. Empat tahun yang lalu. Inginku surut dari tempat kuberpijak. Pergi entah kemana biar tidak ada yang tahu. Tidak ingin dihibur, tidak mau orang-orang memikirkanku, tidak mau mereka tahu.

Namun kalian datang silih berganti. Bertanya, berlagu, merayu, menghiburku dengan berbagai cara. Lagu, petuah, genggaman tangan, dukungan datang dari empat penjuru. Namun hanya diam yang kutawarkan. Aku bergeming, namun mereka juga bergeming. Mereka tidak tahu atas alasan apa aku menangis. Sakitkah? Terlukakah? Sedihkah? 

Salah seorang membelikanku sebotol k*ranti. Diletakkannya di samping kakiku. Menyangka aku sakit karena sedang datang bulan.

Tidak, bukan badanku. Hanya hatiku yang sakit. Betapa aku ingin berhenti menangis, tetapi air mataku membangkang, tak peduli perintahku. Bisakah jamu menyembuhkan hatiku? Kubuka. Kureguk isinya dalam satu tegukan panjang. Cairan kunyit asam yang dingin menyentuh kerongkongan, meluncur semakin jauh ke dasar. Bersamaan dengan itu, sesak di dadaku mengendur. Kemana sakit hati itu?  Pergi. Hilang tak berbekas. 

Tulisan ini untuk kalian. Ketika aku menarik diri dari kalian, kalian keras kepala tetap menahanku kuat-kuat. dan aku berterima kasih untuk itu.

Kamis, 20 Maret 2014

Tuhan, kasih (K)kami pada-M(m)u

 
Matur nuwun atas kesempatan yang telah Engkau berikan hingga saat ini. Saat-saat ketika aku memiliki semuanya. Ibu, bapak, mas, keluarga mas, keluarga kita, teman-teman kita. Sungguh tidak ada bandingannya kenikmatan ini ketika Engkau masih memberi kami kesempatan. Kesempatan untuk bersama, kesempatan untuk bekerja, kesempatan untuk memohon ampun kepada-Mu, juga kesempatan untuk menulis hal-hal seperti ini.

Hidup kami demikian indah, ya Allah. Segala keputusan-Mu demikian mengasihi kami. Pengaturan-Mu demikian sempurna. Udara yang Kau masukkan ke dalam paru-paru kami demikian menyegarkan. Pikiran yang Kau gerakkan di kepala kami demikian lancar dan tajam. Hati yang Kau tanamkan di badan kami demikian menenteramkan. Penglihatan kami, pendengaran kami, perabaan kami, pencecapan, pembauan, semuanya mengirimkan berkah yang Kau tuang kepada kami.

Ya Allah, kami bersyukur telah Engkau ciptakan kasih sayang di dunia ini dari penggalan sifat-Mu yang mulia. Hingga kami dapat saling mengasihi, berbagi, dan menyayangi dengan sepenuh hati. Demikian kasih kami, juga demikian picik dan terbatasnya kami sampai-sampai kami sedih atas kehilangan. Kami sejatinya tidak tahu rasanya kehilangan. Jauh di lubuk hati kami, kami tahu bahwa perpisahan selalu mengiringi sebuah pertemuan. Namun sebelum itu benar-benar terjadi, berilah kami kesempatan untuk mensyukuri semua ini. Atas segala yang telah Engkau beri.

Selalu singkat rasanya setiap perjumpaan. Betapa semua ini fana. Namun begitu, perkenankanlah kami memberi yang terbaik pada saat-saat yang terbatas ini. Perkenankanlah kami saling mengasihi. Perkenankanlah kami saling mengingatkan untuk berbondong-bondong datang kepada-Mu. Akankah Engkau sudi menerima kami? Kepada siapa kami harus kembali kalau tidak pada-Mu?

Maha Suci Engkau dari segala persangkaan kami. Sesungguhnya kami benar-benar terbatas

Rabu, 19 Maret 2014

tipe yang lagi sakit

 
Hari ini beberapa teman sedang diberi nikmat sakit. Nikmat? ya. Bukankah bagaimanapun keadaan orang yang beriman selalu beruntung? Jika sehat, dia akan dapat bekerja dan beribadah dengan baik. Jika sakit sementara dia rela dan bersabar terhadap sakitnya, maka sakitnya menjadi ajang penghapusan dosa yang telah lalu. Semoga kesabarannya dalam menanggung sakit yang diderita, baik ringan maupun berat, dihitung sebagai perjuangan pembersihan diri.
Beberapa perilaku khas muncul ketika seseorang sakit. Tipe pertama adalah orang sakit yang uring-uringan, bawel, rewel, perilakunya menjengkelkan, dan seolah ingin menginduksi orang-orang sekitarnya untuk turut merasakan sakitnya. Perilakunya bisa dengan mengeluh tentang sakitnya, mengeluhkan keadaan, perawatan yang tidak sesuai keinginannya, atau marah-marah tanpa sebab yang jelas. Meskipun (relatif) lebih sukar untuk ditangani, tipe ini lebih memudahkan orang disekitarnya untuk mengetahui apa yang dibutuhkannya. Ketidaknyamanan fisik ataupun psikologis dapat dikenali dengan (relatif) lebih mudah sehingga penanganan yang tepat segera dapat diberikan. Nilai plusnya adalah: ladang pahala terbuka lebar bagi orang-orang disekelilingnya yang bersabar terhadapnya.
Tipe kedua adalah orang sakit yang manis dan menyenangkan. Sakit fisik yang diderita tidak mempengaruhinya untuk berbahagia, gembira, atau untuk sekadar tersenyum. Meski sakit, ekspresi wajahnya berseri-seri. Tidak ada keluhan. Tidak ada gerutu. Wah, ini dia panen yang sebenarnya. Dosa-dosa luruh dari badannya satu demi satu hingga menyisakan diri yang bersih. :) Kedamaian juga menjalar kepada orang-orang di sekelilingnya. Perasaan adem dan tentram menyelimuti. Wangi yang nyaman dan menenangkan.

Tipe ketiga adalah orang sakit yang diam. Ya, hanya diam. Tidak mengeluhkan sakitnya, tidak menggubris sakitnya. Bahkan ketika hanya bisa berbaring pun masih juga diam. Semoga yang di sekelilingnya mampu mengerti "diam"nya. Semoga diamnya membawa kebaikan. Diam yang semeleh. Diam yang rela, diam yang ikhlas. :) Orang-orang di sekitarnya yang semoga bisa mengingatkan kepada kebaikan meski yang didampingi hanya menjawab dengan diam. Semoga hatinya selalu mendekat pada Yang Kuasa.

another goodbye



Kenapa susah menulis tentang orang yang sangat kita cintai? Kenapa aku susah menulis ibu, ayah, dan nenekku yang telah renta? Kenapa kalimat yang sangat ingin kukatakan kepada mereka malah tersimpan rapat di hati? 

Hanya menyisakan air mata pada doa-doa.Hingga yang mampu kuinginkan tentang mereka dan orang-orang yang kucintai adalah Tuhan berkenan mewafatkan dalam keadaan husnul khotimah, mereka kembali kepada Allah dalam keadaan Rabb ridha kepada mereka. Apabila itu benar-benar terjadi, maka aku telah rela atas semuanya.


Masih tentang perpisahan.
Aku telah menyaksikan beberapa kali kematian. Tante, paman, nenek, buyut, teman. Beberapa diantaranya aku belum cukup tahu untuk bersedih. Beberapa yang lain aku telah bersedih. Namun sekarang, aku tak tahu apakah aku sanggup menghadapinya lagi. Kehilangan yang aku cintai. Aku pasti akan sedih. Amat sedih hingga aku khawatir kesusahan menanggungnya. Namun, ketika itu benar-benar terjadi, semoga harapan bahwa mereka mendapat pemeliharaan yang lebih baik dari Rabb-nya menjadi tumpuanku. Aku hanya bisa berharap Rabb akan demikian kasih kepada mereka.

Kamis, 13 Maret 2014

the dreams



Siang tadi aku bertemu dengan teman lamaku. kami pernah seangkatan ketika menempuh kuliah dulu. Di meja bersegi empat itu kami duduk berhadapan, dipisahkan setumpuk snelhecter berisi lembaran nilai dan kotak-kotak karton bercorak batik yang berisi reward untuk mahasiswa pascasarjana yang diwisuda. Obrolan dari x ke y kembali ke x lagi tertuang dengan lancar. Dia mengatakan agar secepat aku lulus, secepat itu pula aku bergabung kepadanya di kota x untuk menjadi dosen di sana. Ya, dia telah menjadi dosen di sana.

Sungguh merupakan suatu tawaran yang menarik. Hatiku sempat tergoda. Bukankah itu yang selama ini diinginkan keempat orang tuaku dan calon suamiku? Ya, aku menginginkannya juga. Keinginan itu pernah menjerat masuk sampai dasar.

Tidak tahukah, bahwa sebenarnya telah bertunas harapan lain? Sebagai manusia, ku akui, aku serakah. Aku menginginkan yang lain selain keinginanku semula. Namun, belum kukatakan ini kepada sesiapa karena gambar di mataku masih kabur. Aku berdoa agar Tuhan berkenan mengabulkan keinginaku itu, meski aku belum tahu apa pastinya keinginanku. Namun, satu hal yang telah jelas, aku ingin impian ini terwujud, demikian pula impianku semula.
Biasanya, ketika aku menginginkan sesuatu, kuceritakan impian itu kepada kedua orang tuaku, juga kepada seorang nenekku yang telah renta. Ayah, ibu, dan nenek pada awalnya akan merasa bahwa impianku itu terlalu tinggi dan berat. Mereka menghela napas, kemudian berkata: "Yo, mugo-mugo gusti Allah nyejani apa sing dadi kekarepanmu." (Ya, mudah-mudahan Gusti Allah mengabulkan apa yang menjadi keinginanmu). Kalimat itu belumlah menjadi rida dari ayah, ibu, dan nenek. Kalimat yang sebatas mengiyakan keinginanku karena menurut ayah, ibu, dan nenek, impianku itu terlalu tinggi dan berat untuk diwujudkan. Aku tidak pernah memprotes atau kecewa atau merasa tidak enak dengan tanggapan ayah, ibu, dan nenek. Bukan salah mereka. Bukan salah keadaan. Bukan pula salahku karena bermimpi terlalu tinggi. Semua itu bukanlah suatu kesalahan. Itu hanya sesuatu yang biasa dalam hidup ini.

Namun begitu, aku tahu. Meskipun ayah, ibu, dan nenek merasakan bahwa impianku terlalu berat, namun mereka perlahan-lahan mendoakanku sesuai dengan impianku itu. Doa yang diulang tiap hari. Tiap waktu. Semakin hari, doa itu semakin menguat hingga ayah, ibu, dan nenek yang telah renta perlahan-lahan bertambah keyakinannya. Gambaran itu semakin jelas, lapis demi lapis. Kemudian mereka akan percaya bahwa semua itu bisa bisa terjadi. Keyakinan ayah, ibu, dan nenek semakin menguat bahwa impian itu akan terwujud. Pada akhirnya, keyakinan ayah,ibu, dan nenek sangatlah kuat, melebihi keyakinanku sendiri.

Ketika bola impian yang kami peryacai itu telah padu padat, impian itu menjadi nyata terlebih dahulu, bahkan jauh sebelum impian itu benar-benar terjadi.

------------------------------------------------------------------------------------

Sekarang ini, ketika impianku yang ini belum kukatakan, aku merasa merajut sendiri. Rajutan yang semakin hari semakin kuat, rapat, dan banyak.

Senin, 03 Maret 2014

pertanyaan yang tertinggal



Hampir setahun yang lalu aku mendapat pertanyaan dari sahabatku. "Mbak, Ifa, menurut mbak Ifa, apa yang terjadi ketika mbak Ifa meninggal?"

Aku jawab, "Ketika aku meninggal, ya meninggal 'saja'."

Sahabatku itu tertawa, "Dari sekian banyak pertanyaan, 'INI' pertanyaan yang tidak bisa dijawab mbak Ifa."

Aku berkata lagi, "Loh, emang iya kan mbak? Ketika kita meninggal, ya, meninggal. Kan kita tidak bisa melakukan apa-apa."

Sahabatku itu tertawa lagi, berkata, "Mbak Ifa, mbak Ifa...." sambil menggeleng-gelengkan kepala.

------------------------------------------------------------------------------------------
Ya, sampai saat ini, aku tidak tahu. Ya, memang ada alam barzakh, hisab, dsb. di pelajaran dulu. Tapi aku benar-benar tidak tahu. Benar-benar tidak tahu.
Aku yakin dan percaya saat itu pasti ada. Hanya "aku" yang tak bisa menjangkaunya. Ah.... Betapa manusia teramat buta.

Rabu, 12 Februari 2014

a vegetarian?


 

Adalah waktu yang telah lama sekali, aku ingin sekali menjadi vegetarian. Kurang lebih dua puluh hari kujalani tanpa daging, tanpa ikan. Protein hewani dikumpulkan dari telur dan susu. Allday. Konsumsi garam dan bawang putih dikurangi hingga tingkat minimal. Bahkan penyedap masakan tidak lagi disentuh. Aku merasa nyaman sekali. Tidak ada keinginan makan sate ayam yang biasanya bikin ngiler. Tidak ada nasi goreng hati ayam, cukup puas dengan nasi goreng telur.

Bagaimana itu bisa bermula? Bertahun lalu, ketika aku ingin menjadi wanita yang baik (menurut acuanku), aku bertekad mengurangi api dalam tubuh. Aku seperti merasa panas dan bergolak ketika makan makanan hewani itu. Aku tidak jijik, hanya tidak sampai hati ketika memikirkan semua itu bermuara di perutku.

Awalnya, ibu tidak mendukung pilihan makananku. Alasannya sederhana. Sebulan sekali ketika aku pulang ke rumah, ibu ingin menggelar sayur dan lauk pauk di rumah. Ketika aku tidak mengambil lauk, ibu berujar kasihan sekali aku, badanku yang tipis tidak diisi secuil daging. Pada waktu itu aku tersenyum, mengambil sayur. Ini saja sudah cukup. Untuk beberapa waktu, aku bertahan.

Seorang pria yang hendak menjadi suamiku datang. Rupanya dia juga tidak sepakat dengan apa yang kulakukan. Membujukku untuk mau menyantap ikan, meski jika aku menghindari unggas dan mammals. Dengan menghela napas, terkadang jadilah kumakan ikan itu meski ada sedikit rasa tidak rela. Selama beberapa hari.

Rupanya tidak berhenti sampai di situ. Dikatankah bahwa tumbuhan dan hewan diciptakan untuk kepentingan manusia. Ya, aku sepakat dengan hal itu. Namun, aku teguh. Hingga tiba pada suatu ketika dikatakannya bahwa Rasulullah, seorang yang paling sempurna, pun menyantap makanan itu. Mendengar itu, jadilah aku tak bisa berbicara. Aku ingin menangis rasanya. Ya, benar. Rasulullah, sosok sempurna di atas segala sempurna pun dhahar itu pula. Selanjutnya aku tidak menolaknya lagi, tak ada daya untuk menolaknya. Bertahun kemudian, aku kembali menjadi omnivor (lagi).

Beberapa hari ini, sensasi itu muncul kembali. Tadi siang, misalnya, aku menyantap ikan air tawar. Belum juga habis setengahnya, tiba-tiba aku merasa tidak sanggup menghabiskannya. Aku merasa piringku sangat kotor. Segera kusingkirkan duri dan selainnya, hingga hanya menyisakan dagingnya yang putih. Kumakan pelan-pelan dengan terpaksa. Tidak bisa kubuang begitu saja. (Aku termasuk tipe yang berat hati menyisakan makanan di piring).

Sore harinya, biasanya aku beli sayur dan lauk di warung. Aku melihat jajaran lauk hewani tertata dengan rapihnya. Daging juga ikan. Perutku tiba-tiba bergejolak. Sepertinya tak mampu menampung makanan itu jika kubeli salah satu. Jadilah kupilih sop dan tahu goreng. Itu saja.

Ketika keinginanku kembali lagi, akankah kali ini berhasil? Akankah aku diterima? Aku masih mau telor dan susu, kok. Tidak ada maksud meniru agama lain. Sama sekali tidak ada. Aku hanya merasa lebih segar ketika perutku bersih.

Ataukah sebaiknya hanya kubilang pada mereka bahwa aku sedang mual dan tidak begitu suka daging dan ikan? Ya, sepertinya itu akan berhasil, untuk beberapa waktu.

Kamis, 30 Januari 2014

a miss


 

catatan 30 Januari 2014 17.08

Ini adalah hari yang sangat melelahkan. Amat sangat melelahkan. Punggungku menyangga beban kurang lebih seberat 25 kilogram (sepertinya). Dua potong pakaian bergulung rapi di dalam ransel, berjubal dengan laptop ini sekaligus chargernya, dua buah buku tebal, sebotol air minum, sebuah binder loose leaf besar dan tebal, pencilcase, face cleanser, dan pernak pernik kecil entah apa (untung tidak jadi membawa payung karena tertinggal). Bergayut di lenganku dengan santai dan PD-nya, tas tangan jumbo bertulis B*I Tabungan Haji warna orange menyala. Menggembung seperti perut isi janin 7 bulan, ditata dengan rapi sesisir pisang, 9 butir jeruk (dan sebutir apel), tas makeup kecil (yang entah kenapa pada saat-saat seperti ini jadi terasa berat sekali), dan sepouch alat mandi. Lengkap sudah apa yang kubawa hari ini untuk bermalam beberapa hari di tempat  saudaraku yang jauh di sana dengan niatan untuk menemaninya karena dia sedang sendirian di rumah ditinggal keluarganya.

Sebelum berangkat ke tempat saudara, aku mampir dulu ke perpustakaan Universitas XX. Menyusul kemudian, aku menyambangi perpustakaan YY di kota yang sama (Yogyakarta). Capek, panas, dan digayuti benda-benda berat, pukul 15.15 aku berjalan menuju halte trans. Sayang sungguh sayang, aku tidak tahu harus turun di halte mana untuk menuju rumah saudaraku itu (biasanya naik motor). Padahal smsku sejak pagi belum juga dibalas :( Ya, sudah. Dengan langkah gontai aku kembali ke kost membawa sesisir pisang yang rusak tak terselamatkan (untung jeruk dan apel masih utuh) dan perut yang melilit keroncongan.

Jengkel sekali rasanya sampai-sampai kubawa tas B*I dengan serampangan, tak peduli pisang yang makin rusak di dalamnya. Lapar bukan main, aku langsung beli nasi bungkus di warung. Sesampai kost langsung makan dengan lahap sambi kecewa mengeja hari ini. Pisang yang membuat patah hati ku taruh di depan, belum sanggup membuangnya. Sebenarnya sangat ingin tidur, tapi katanya pamali tidur setelah asyar menjelang magrib. Ya sudah. Kuketik ini sembari ditemani segelas susu.

Yah, niat baik dan rencana yang sepertinya akan luar biasa dan bahagia, memang terkadang bisa menjadi sumber kecewa. Baiklah, kecewa 10 menit saja.