Sabtu, 11 Juli 2015

Dalam Perjalanan


Hasil gambar untuk kayon

Dalam perjalanan menuju tempat kerja, ini adalah hari yang kelabu dan terasa sesak meski mentari telah menampakkan sinarnya yang kekuningan. Nyanyian sinden dalam bis tua ini, pada perjalananku menuju terminal, merasuk telinga. Suara tuanya terdengar merdu mengeja nada yang menggantung. Liriknya sederhana, cenderung bermain-main malah. Entah mengapa terdengar sendu. Mengantarku pada pusaran waktu yang berkelebat. Lapis demi lapis.

Kita hanyalah titah yang menjalani peranan di dunia. Sebuah lakon yang harus kita mainkan dengan sebaik-baiknya. Hidup yang sedemikian rupa, ada yang menjalaninya. Sebagaimana sinden itu yang perlahan mengingatkanku pada novel Ronggeng Dukuh Paruk: wanita itu, Srintil yang tergerus masa. Juga pada Tancep Kayon, dimana wanita-wanitanya bergelut dengan liatnya zaman: bermandi peluh di tengah panas siang yang membakar, kemudian menjelma ratu di malam-malam harinya. Menjelma ratu-ratu di bawah sorot lampu panggung yang gemerlap. Mereka muncul di hadapanku berdasa-dasa warsa kemudian dalam wujud wanita tua yang luwes ini. Ah, tentu dia (pernah/masih) adalah ratu, entah pada babak mana.
Kita hanyalah titah. Sebagaimana pelaku yang menjalankan perannya. Aku kah si beruntung? dia kah? Pertanyaan yang tidak terjawab. Peran ini telah digariskan. Peran hanya tinggal semata peran. Semua hanyalah peran yang harus dilakonkan sebaik-baiknya.

Kita hanyalah titah. Sebagaimana titah, kita tunduk pada skenario yang digariskan. Menyelami peristiwa demi peristiwa, bergulir mengiring perjalanan masa. Masa-masa yang harus kita habiskan, detik demi detik, saat demi saat, sampai waktu yang telah ditentukan.

Kita adalah titah. Sebagaimana titah, kita belajar. Kadang berlari, kadang tertatih, kadang hilang keseimbangan. Terkadang ingat, terkadang lupa. Lupa bahwa kita semata titah. "Lupa" yang mengiring pada angkuh, pada pergulatan waktu yang tak ada habisnya, pada keterpurukan dan kesedihan. Setelah itu, kita belajar mengingat kembali pada pelajaran awal yang menyertai kemunculan manusia: bahwa kita semata titah.

Sebagaimana titah, peranku datang begitu saja. Tanpa memilah, tanpa memilih. Tiba-tiba aku telah masuk ke dalamnya. Sebagaimana aku yang duduk di dalam bis tua ini, tidak tahu apa yang akan terjadi.