Selasa, 16 Desember 2014

I've got married!




Sejak selesai studi pada tahun 2012 aku selalu memimpikan pernikahan yang pada waktu itu mimpi tersebut menjadi demikian menggoda hingga terasa menyesakkan. Menyesakkan karena demikian diinginkan, tetapi tak kunjung terwujud. Serasa berdiri di depan etalase toko, memandangi sepatu cantik yang tak terbeli. Rayuan demi rayuan kepada orang tua yang berakhir mengambang. Beberapa kali putus asa pula. Beberapa kali menyerah.
Tahun 2013 proposal kembali diajukan sembari membawa harapan baru berupa sebuah pernikahan karena studi di Yk telah separuh terlampaui. Rupanya berakhir dengan sekali tiga uang. Belum disetujui.
Keputusasaan demi keputusasaan menyatu lapis demi lapis hingga akhirnya terasa jenuh untuk berputus asa. Dengan semangat terakhir yang masih tersisa kusisihkan sekalian harapan-harapan itu. Biar tidak ada lagi kecewa, maka dikuburlah keinginan. Membisikkan bahwa sepatu menawan yang tak terbeli itu kekecilan, solnya tidak kuat, jahitannya tidak rapi, dan jelek. Berbisik lebih pada diri sendiri. Bayangan tentang pernikahan ditepis jauh-jauh kemudian memilih menyibukkan diri berkutat pada studi. Semakin jarang terucap kata-kata tentang pernikahan. Jarang, semakin jarang, hingga akhirnya berhenti sama sekali. Pernah sempat pula sedikit apatis. Masih teringat jelasnya pembangkangan itu hingga terucap "Ya Allah.... kepingin barang sing apik we kok angele koyo ngene...." (Ya Allah, menginginkan hal yang baik saja, kok, susahnya seperti ini...." 
Betapa aku ingin menarik diri pada waktu itu. Menarik diri seluruhnya. Seperti ingin pergi dan tak kembali lagi. Untungnya mas tidak bosan-bosan mengingatkan kemuliaan pernikahan, "Atau mungkin begini, Nok, mungkin Allah sedang melatih kita untuk bersabar. Mungkin memberi waktu kita untuk meluruskan kembali niat pernikahan". Yah, memang mungkin seperti itu, pikirku kemudian. Kentara sekali aku mencoba menyisihkan buruk sangka itu, kendati dengan sedikit tidak rela. Jadilah selanjutnya aku berjalan saja. Hanya berjalan. Melalui hari-hari studi tanpa memikirkan pernikahan. Keinginan itu tetap ada, hanya tersisih rapi di sudut yang temaram. Mematung dengan manis. Mekar dalam diam.

Tahun 2014, 17 Mei. Wow, aku dilamar!
Proses yang sangat singkat, bagiku. Disela-sela mengerjakan tesis aku tiba-tiba hanya mendapat pesan untuk pulang pada tanggal-tanggal yang ditentukan. Rupanya ayah mas telah datang ke rumah dan tercapailah kesepakatan mengenai tanggal lamaran, ijab qabul, dan resepsi. Wow, wow, wow! Sekali lagi wow! Cepat dan seolah tidak nyata rasanya. Kemudian mas menelepon, memintaku untuk tidak memikirkan hal-hal lain kecuali tesis, selesaikan tesis secepatnya, bahwa segala sesuatu telah diatur, dan bahwa aku hanya perlu pulang ketika diminta pulang. Tanggal 15 Mei mas menyusulku ke Yk. Kita membuat janji bertemu untuk membeli barang-barang keperluan maharan. 
Cincin. Ah, aku selalu terkenang pada cincin itu. Cincin sederhana, banyak yang lebih mahal, tetapi hanya cincin itu yang menarik hatiku. Berkali-kali mengalihkan pandangan untuk mencari yang sedikit lebih mahal, tetapi akhirnya pandangan kembali ke cincin itu. Lagi dan lagi. Akhirnya diambillah cincin itu, sebuah keputusan yang masih menyisakan senyum ketika aku mengingatnya. Sebuah keputusan yang kadang mas sesali karena cincin itu terlihat terlalu sederhana. :) Begitulah cinta. Pikiranku mencoba menolak cincin itu, tetapi hatiku tak bisa berpaling. Jatuh cinta yang menyebalkan. Ah, aku selalu suka cincin itu.

I've got married! Jumat, 6 Juni 2014. 
Pernikahan yang tidak terduga. Yah, mungkin semua pernikahan akan selalu terasa 'tak terduga' oleh pelakunya. :) Hari Senin aku pulang dari Yk, Selasa ikut penyuluhan di KUA, dan Jumat aku dan mas sah menikah. Jika dihitung, hanya kurang lebih 20 hari sejak ayah mas datang ke rumah untuk berembuk hingga saat resepsi pada hari Minggu 8 Juni. Pada waktu resepsi, temanku yang dari Padangsidempuan datang membawakan garapan tesis milikku. Ah, benar-benar hari yang luar biasa, juga lucu.
Begitulah kira-kira sampai saat pernihakanku. Hari-hari yang berlalu seolah terbang berkelebat demikian cepatnya. Tesis dan waktu-waktu menunggu pernikahan yang seolah menjadi sesuatu yang mengambang. Tidak nyata, tapi kukerjakan jua. Entah perasaan apakah itu. Bukan sedih, bukan bahagia. Hanya berupa "entah".