Sabtu, 22 Maret 2014

Bisakah jamu menyembuhkan sakit hati?



Suatu ketika aku menangis sedari malam hingga sore hari. Empat tahun yang lalu. Inginku surut dari tempat kuberpijak. Pergi entah kemana biar tidak ada yang tahu. Tidak ingin dihibur, tidak mau orang-orang memikirkanku, tidak mau mereka tahu.

Namun kalian datang silih berganti. Bertanya, berlagu, merayu, menghiburku dengan berbagai cara. Lagu, petuah, genggaman tangan, dukungan datang dari empat penjuru. Namun hanya diam yang kutawarkan. Aku bergeming, namun mereka juga bergeming. Mereka tidak tahu atas alasan apa aku menangis. Sakitkah? Terlukakah? Sedihkah? 

Salah seorang membelikanku sebotol k*ranti. Diletakkannya di samping kakiku. Menyangka aku sakit karena sedang datang bulan.

Tidak, bukan badanku. Hanya hatiku yang sakit. Betapa aku ingin berhenti menangis, tetapi air mataku membangkang, tak peduli perintahku. Bisakah jamu menyembuhkan hatiku? Kubuka. Kureguk isinya dalam satu tegukan panjang. Cairan kunyit asam yang dingin menyentuh kerongkongan, meluncur semakin jauh ke dasar. Bersamaan dengan itu, sesak di dadaku mengendur. Kemana sakit hati itu?  Pergi. Hilang tak berbekas. 

Tulisan ini untuk kalian. Ketika aku menarik diri dari kalian, kalian keras kepala tetap menahanku kuat-kuat. dan aku berterima kasih untuk itu.

Kamis, 20 Maret 2014

Tuhan, kasih (K)kami pada-M(m)u

 
Matur nuwun atas kesempatan yang telah Engkau berikan hingga saat ini. Saat-saat ketika aku memiliki semuanya. Ibu, bapak, mas, keluarga mas, keluarga kita, teman-teman kita. Sungguh tidak ada bandingannya kenikmatan ini ketika Engkau masih memberi kami kesempatan. Kesempatan untuk bersama, kesempatan untuk bekerja, kesempatan untuk memohon ampun kepada-Mu, juga kesempatan untuk menulis hal-hal seperti ini.

Hidup kami demikian indah, ya Allah. Segala keputusan-Mu demikian mengasihi kami. Pengaturan-Mu demikian sempurna. Udara yang Kau masukkan ke dalam paru-paru kami demikian menyegarkan. Pikiran yang Kau gerakkan di kepala kami demikian lancar dan tajam. Hati yang Kau tanamkan di badan kami demikian menenteramkan. Penglihatan kami, pendengaran kami, perabaan kami, pencecapan, pembauan, semuanya mengirimkan berkah yang Kau tuang kepada kami.

Ya Allah, kami bersyukur telah Engkau ciptakan kasih sayang di dunia ini dari penggalan sifat-Mu yang mulia. Hingga kami dapat saling mengasihi, berbagi, dan menyayangi dengan sepenuh hati. Demikian kasih kami, juga demikian picik dan terbatasnya kami sampai-sampai kami sedih atas kehilangan. Kami sejatinya tidak tahu rasanya kehilangan. Jauh di lubuk hati kami, kami tahu bahwa perpisahan selalu mengiringi sebuah pertemuan. Namun sebelum itu benar-benar terjadi, berilah kami kesempatan untuk mensyukuri semua ini. Atas segala yang telah Engkau beri.

Selalu singkat rasanya setiap perjumpaan. Betapa semua ini fana. Namun begitu, perkenankanlah kami memberi yang terbaik pada saat-saat yang terbatas ini. Perkenankanlah kami saling mengasihi. Perkenankanlah kami saling mengingatkan untuk berbondong-bondong datang kepada-Mu. Akankah Engkau sudi menerima kami? Kepada siapa kami harus kembali kalau tidak pada-Mu?

Maha Suci Engkau dari segala persangkaan kami. Sesungguhnya kami benar-benar terbatas

Rabu, 19 Maret 2014

tipe yang lagi sakit

 
Hari ini beberapa teman sedang diberi nikmat sakit. Nikmat? ya. Bukankah bagaimanapun keadaan orang yang beriman selalu beruntung? Jika sehat, dia akan dapat bekerja dan beribadah dengan baik. Jika sakit sementara dia rela dan bersabar terhadap sakitnya, maka sakitnya menjadi ajang penghapusan dosa yang telah lalu. Semoga kesabarannya dalam menanggung sakit yang diderita, baik ringan maupun berat, dihitung sebagai perjuangan pembersihan diri.
Beberapa perilaku khas muncul ketika seseorang sakit. Tipe pertama adalah orang sakit yang uring-uringan, bawel, rewel, perilakunya menjengkelkan, dan seolah ingin menginduksi orang-orang sekitarnya untuk turut merasakan sakitnya. Perilakunya bisa dengan mengeluh tentang sakitnya, mengeluhkan keadaan, perawatan yang tidak sesuai keinginannya, atau marah-marah tanpa sebab yang jelas. Meskipun (relatif) lebih sukar untuk ditangani, tipe ini lebih memudahkan orang disekitarnya untuk mengetahui apa yang dibutuhkannya. Ketidaknyamanan fisik ataupun psikologis dapat dikenali dengan (relatif) lebih mudah sehingga penanganan yang tepat segera dapat diberikan. Nilai plusnya adalah: ladang pahala terbuka lebar bagi orang-orang disekelilingnya yang bersabar terhadapnya.
Tipe kedua adalah orang sakit yang manis dan menyenangkan. Sakit fisik yang diderita tidak mempengaruhinya untuk berbahagia, gembira, atau untuk sekadar tersenyum. Meski sakit, ekspresi wajahnya berseri-seri. Tidak ada keluhan. Tidak ada gerutu. Wah, ini dia panen yang sebenarnya. Dosa-dosa luruh dari badannya satu demi satu hingga menyisakan diri yang bersih. :) Kedamaian juga menjalar kepada orang-orang di sekelilingnya. Perasaan adem dan tentram menyelimuti. Wangi yang nyaman dan menenangkan.

Tipe ketiga adalah orang sakit yang diam. Ya, hanya diam. Tidak mengeluhkan sakitnya, tidak menggubris sakitnya. Bahkan ketika hanya bisa berbaring pun masih juga diam. Semoga yang di sekelilingnya mampu mengerti "diam"nya. Semoga diamnya membawa kebaikan. Diam yang semeleh. Diam yang rela, diam yang ikhlas. :) Orang-orang di sekitarnya yang semoga bisa mengingatkan kepada kebaikan meski yang didampingi hanya menjawab dengan diam. Semoga hatinya selalu mendekat pada Yang Kuasa.

another goodbye



Kenapa susah menulis tentang orang yang sangat kita cintai? Kenapa aku susah menulis ibu, ayah, dan nenekku yang telah renta? Kenapa kalimat yang sangat ingin kukatakan kepada mereka malah tersimpan rapat di hati? 

Hanya menyisakan air mata pada doa-doa.Hingga yang mampu kuinginkan tentang mereka dan orang-orang yang kucintai adalah Tuhan berkenan mewafatkan dalam keadaan husnul khotimah, mereka kembali kepada Allah dalam keadaan Rabb ridha kepada mereka. Apabila itu benar-benar terjadi, maka aku telah rela atas semuanya.


Masih tentang perpisahan.
Aku telah menyaksikan beberapa kali kematian. Tante, paman, nenek, buyut, teman. Beberapa diantaranya aku belum cukup tahu untuk bersedih. Beberapa yang lain aku telah bersedih. Namun sekarang, aku tak tahu apakah aku sanggup menghadapinya lagi. Kehilangan yang aku cintai. Aku pasti akan sedih. Amat sedih hingga aku khawatir kesusahan menanggungnya. Namun, ketika itu benar-benar terjadi, semoga harapan bahwa mereka mendapat pemeliharaan yang lebih baik dari Rabb-nya menjadi tumpuanku. Aku hanya bisa berharap Rabb akan demikian kasih kepada mereka.

Kamis, 13 Maret 2014

the dreams



Siang tadi aku bertemu dengan teman lamaku. kami pernah seangkatan ketika menempuh kuliah dulu. Di meja bersegi empat itu kami duduk berhadapan, dipisahkan setumpuk snelhecter berisi lembaran nilai dan kotak-kotak karton bercorak batik yang berisi reward untuk mahasiswa pascasarjana yang diwisuda. Obrolan dari x ke y kembali ke x lagi tertuang dengan lancar. Dia mengatakan agar secepat aku lulus, secepat itu pula aku bergabung kepadanya di kota x untuk menjadi dosen di sana. Ya, dia telah menjadi dosen di sana.

Sungguh merupakan suatu tawaran yang menarik. Hatiku sempat tergoda. Bukankah itu yang selama ini diinginkan keempat orang tuaku dan calon suamiku? Ya, aku menginginkannya juga. Keinginan itu pernah menjerat masuk sampai dasar.

Tidak tahukah, bahwa sebenarnya telah bertunas harapan lain? Sebagai manusia, ku akui, aku serakah. Aku menginginkan yang lain selain keinginanku semula. Namun, belum kukatakan ini kepada sesiapa karena gambar di mataku masih kabur. Aku berdoa agar Tuhan berkenan mengabulkan keinginaku itu, meski aku belum tahu apa pastinya keinginanku. Namun, satu hal yang telah jelas, aku ingin impian ini terwujud, demikian pula impianku semula.
Biasanya, ketika aku menginginkan sesuatu, kuceritakan impian itu kepada kedua orang tuaku, juga kepada seorang nenekku yang telah renta. Ayah, ibu, dan nenek pada awalnya akan merasa bahwa impianku itu terlalu tinggi dan berat. Mereka menghela napas, kemudian berkata: "Yo, mugo-mugo gusti Allah nyejani apa sing dadi kekarepanmu." (Ya, mudah-mudahan Gusti Allah mengabulkan apa yang menjadi keinginanmu). Kalimat itu belumlah menjadi rida dari ayah, ibu, dan nenek. Kalimat yang sebatas mengiyakan keinginanku karena menurut ayah, ibu, dan nenek, impianku itu terlalu tinggi dan berat untuk diwujudkan. Aku tidak pernah memprotes atau kecewa atau merasa tidak enak dengan tanggapan ayah, ibu, dan nenek. Bukan salah mereka. Bukan salah keadaan. Bukan pula salahku karena bermimpi terlalu tinggi. Semua itu bukanlah suatu kesalahan. Itu hanya sesuatu yang biasa dalam hidup ini.

Namun begitu, aku tahu. Meskipun ayah, ibu, dan nenek merasakan bahwa impianku terlalu berat, namun mereka perlahan-lahan mendoakanku sesuai dengan impianku itu. Doa yang diulang tiap hari. Tiap waktu. Semakin hari, doa itu semakin menguat hingga ayah, ibu, dan nenek yang telah renta perlahan-lahan bertambah keyakinannya. Gambaran itu semakin jelas, lapis demi lapis. Kemudian mereka akan percaya bahwa semua itu bisa bisa terjadi. Keyakinan ayah, ibu, dan nenek semakin menguat bahwa impian itu akan terwujud. Pada akhirnya, keyakinan ayah,ibu, dan nenek sangatlah kuat, melebihi keyakinanku sendiri.

Ketika bola impian yang kami peryacai itu telah padu padat, impian itu menjadi nyata terlebih dahulu, bahkan jauh sebelum impian itu benar-benar terjadi.

------------------------------------------------------------------------------------

Sekarang ini, ketika impianku yang ini belum kukatakan, aku merasa merajut sendiri. Rajutan yang semakin hari semakin kuat, rapat, dan banyak.

Senin, 03 Maret 2014

pertanyaan yang tertinggal



Hampir setahun yang lalu aku mendapat pertanyaan dari sahabatku. "Mbak, Ifa, menurut mbak Ifa, apa yang terjadi ketika mbak Ifa meninggal?"

Aku jawab, "Ketika aku meninggal, ya meninggal 'saja'."

Sahabatku itu tertawa, "Dari sekian banyak pertanyaan, 'INI' pertanyaan yang tidak bisa dijawab mbak Ifa."

Aku berkata lagi, "Loh, emang iya kan mbak? Ketika kita meninggal, ya, meninggal. Kan kita tidak bisa melakukan apa-apa."

Sahabatku itu tertawa lagi, berkata, "Mbak Ifa, mbak Ifa...." sambil menggeleng-gelengkan kepala.

------------------------------------------------------------------------------------------
Ya, sampai saat ini, aku tidak tahu. Ya, memang ada alam barzakh, hisab, dsb. di pelajaran dulu. Tapi aku benar-benar tidak tahu. Benar-benar tidak tahu.
Aku yakin dan percaya saat itu pasti ada. Hanya "aku" yang tak bisa menjangkaunya. Ah.... Betapa manusia teramat buta.