Siang tadi aku bertemu dengan teman lamaku. kami pernah seangkatan ketika menempuh kuliah dulu. Di meja bersegi empat itu kami duduk berhadapan, dipisahkan setumpuk snelhecter berisi lembaran nilai dan kotak-kotak karton bercorak batik yang berisi reward untuk mahasiswa pascasarjana yang diwisuda. Obrolan dari x ke y kembali ke x lagi tertuang dengan lancar. Dia mengatakan agar secepat aku lulus, secepat itu pula aku bergabung kepadanya di kota x untuk menjadi dosen di sana. Ya, dia telah menjadi dosen di sana.
Sungguh merupakan suatu tawaran yang menarik. Hatiku sempat tergoda. Bukankah itu yang selama ini diinginkan keempat orang tuaku dan calon suamiku? Ya, aku menginginkannya juga. Keinginan itu pernah menjerat masuk sampai dasar.
Tidak tahukah, bahwa sebenarnya telah bertunas harapan lain? Sebagai manusia, ku akui, aku serakah. Aku menginginkan yang lain selain keinginanku semula. Namun, belum kukatakan ini kepada sesiapa karena gambar di mataku masih kabur. Aku berdoa agar Tuhan berkenan mengabulkan keinginaku itu, meski aku belum tahu apa pastinya keinginanku. Namun, satu hal yang telah jelas, aku ingin impian ini terwujud, demikian pula impianku semula.
Biasanya, ketika aku menginginkan sesuatu, kuceritakan impian itu kepada kedua orang tuaku, juga kepada seorang nenekku yang telah renta. Ayah, ibu, dan nenek pada awalnya akan merasa bahwa impianku itu terlalu tinggi dan berat. Mereka menghela napas, kemudian berkata: "Yo, mugo-mugo gusti Allah nyejani apa sing dadi kekarepanmu." (Ya, mudah-mudahan Gusti Allah mengabulkan apa yang menjadi keinginanmu). Kalimat itu belumlah menjadi rida dari ayah, ibu, dan nenek. Kalimat yang sebatas mengiyakan keinginanku karena menurut ayah, ibu, dan nenek, impianku itu terlalu tinggi dan berat untuk diwujudkan. Aku tidak pernah memprotes atau kecewa atau merasa tidak enak dengan tanggapan ayah, ibu, dan nenek. Bukan salah mereka. Bukan salah keadaan. Bukan pula salahku karena bermimpi terlalu tinggi. Semua itu bukanlah suatu kesalahan. Itu hanya sesuatu yang biasa dalam hidup ini.
Namun begitu, aku tahu. Meskipun ayah, ibu, dan nenek merasakan bahwa impianku terlalu berat, namun mereka perlahan-lahan mendoakanku sesuai dengan impianku itu. Doa yang diulang tiap hari. Tiap waktu. Semakin hari, doa itu semakin menguat hingga ayah, ibu, dan nenek yang telah renta perlahan-lahan bertambah keyakinannya. Gambaran itu semakin jelas, lapis demi lapis. Kemudian mereka akan percaya bahwa semua itu bisa bisa terjadi. Keyakinan ayah, ibu, dan nenek semakin menguat bahwa impian itu akan terwujud. Pada akhirnya, keyakinan ayah,ibu, dan nenek sangatlah kuat, melebihi keyakinanku sendiri.
Ketika bola impian yang kami peryacai itu telah padu padat, impian itu menjadi nyata terlebih dahulu, bahkan jauh sebelum impian itu benar-benar terjadi.
------------------------------------------------------------------------------------
Sekarang ini, ketika impianku yang ini belum kukatakan, aku merasa merajut sendiri. Rajutan yang semakin hari semakin kuat, rapat, dan banyak.