Sabtu, 05 April 2014

Me and the Veil?



Memalukan sebenarnya menulis ini. Sayangnya perasaanku tidak surut ketika semua ini kudiamkan saja. Ingin bercerita, namun sepertinya ini bukanlah hal yang penting untuk diperdengarkan orang lain. Jadilah kutulis ini.

Aku berkerudung sejak semester dua kelas x. Entah apa alasannya, tau-tau aku dan teman se-gang berganti seragam muslim. Bukan jilbab besar, hanya kerudung biasa ketika sekolah dan pergi ke kampung sebelah.

Beberapa tahun di Salatiga, aku tetap berkerudung ketika kuliah dan keluar kost. Beli sayur di tetangga sebelah juga berkerudung rapi. Akan tetapi untuk saat-saat tertentu, misalnya latihan drama dan keperluan pentas, kerudungku terbang entah kemana. Copot, kemudian terpasang lagi setelahnya. Biasa saja waktu itu, meski aku telah merasa risi pergi ke warung dengan kepala polos. Pakai kaos pendek pun, kerudung terpasang. Aneh memang.

Sekarang ini di Yogyakarta aku masih sama dalam hal berkerudung. Namun, aku sudah tidak lagi latihan drama dan pentas. Seandainya latihan dan pentas pun, mungkin aku akan berkedurung sekadarnya. Mungkin. Rasanya tidak tega melenggang dengan PD-nya tanpa penutup kepala. Bahkan pernah beberapa saat aku merasa aneh dan tidak familiar melihat rambut perempuan menjuntai dan melambai-lambai tertiup angin, entah di jalan, entah di angkutan umum. Janggal rasanya.

Ironisnya, beberapa waktu ini kudapati diriku sedang memandangi foto-foto kawan-kawan di sosmed. Beberapa tanpa penutup kepala. Tak ayal bayangan menyeruak. Menggoda. Yah, seandainya aku seperti itu pasti gampang sekali memilih kostum. Terlihat menarik dengan seadanya. Pergi sebebasnya, bergaya semaunya, berfoto sebanyaknya. Tak kupungkiri ada sedikit iri. Ingin bilang juga pada dunia: "eh, aku juga sebenarnya seperti itu loh...", "eh, tampilanku bisa semenarik itu, loh...", etc. Tapi kenyataan menenggelamkan suara-suara itu. Non sense. Hanya tinggal gaung yang berulang berdentam di dalam kepalaku. Tak berarti apa-apa.

Yah, ternyata kerudung ini telah membatasi aku. Ada rasa sebal. Namun aku merasa beruntung, indeed. Semua ini menjauhkanku dari keinginan yang tidak perlu, bahkan keinginan yang cenderung membahayakan: diakui orang lain. Setelah orang lain mengakui bahwa aku bla bla bla dan bla bla bla, what's next? Nothing. Kosong melompong. Malah mendorong pada sombong. Bencana terbesar, bukan?

Jadilah aku menelan semua ini. Mungkin harus berpuas diri untuk diakui semata oleh suami (saja)? Sejauh ini,
sepertinya harus menenggelamkan diri rapat-rapat. Mencoba tidak muncul di permukaan.

Rabu, 02 April 2014

Lelaki yang Bersayap Empat



Pernah kulihat kamu, dulu sekali, mungkin pada awal-awal perjumpaan kita. Engkau berjalan membentangkan sayapmu yang berjumlah empat sementara aku memegangi salah satunya. Menggenggam ujung-ujungnya sambil mengibaskan sisi panjangnya membentuk gelombang-gelombang. Aku dan tiga orang lain. Sayapmu berwarna putih, kala itu. Melambai dan meliuk seirama jalanmu yang setengah menari. Perlahan mengitari kerumunan dan manusia yang lalu lalang.

Kamu terbang dengan sayapmu yang berjumlah empat. Indah memang. Bagaimana dirimu bisa menjadi seindah itu? Aku terpesona.

Ternyata tak seperti yang kubayangkan. Kupikir dirimu menikmati tiap detiknya. Merasai kemagisanmu. Ternyata tidak. Kulihat bilur-bilur merah dan ungu di perut dan pinggangmu. Sakitkah?

Itukah yang membuatmu demikian indah: kamu menari sementara menyimpan badanmu yang sebenarnya luka-luka? Itukah yang membuatmu demikian magis? Hingga bertahun kemudian bayangmu tidak mau pergi dari ingatanku, padahal hanya kulihat punggungmu kala itu. Itukah yang membuatku terduduk dihadapanmu: kau rampungkan putaran meski sebenarnya menyakitkan? Seperti itukah pula saat kamu bersamaku: menyajikan sorot matamu yang sejuk sementara menelan pahit dengan susah payah? Itukah yang membuatku mencintaimu, dulu dan sekarang ini?