Rabu, 12 Februari 2014

a vegetarian?


 

Adalah waktu yang telah lama sekali, aku ingin sekali menjadi vegetarian. Kurang lebih dua puluh hari kujalani tanpa daging, tanpa ikan. Protein hewani dikumpulkan dari telur dan susu. Allday. Konsumsi garam dan bawang putih dikurangi hingga tingkat minimal. Bahkan penyedap masakan tidak lagi disentuh. Aku merasa nyaman sekali. Tidak ada keinginan makan sate ayam yang biasanya bikin ngiler. Tidak ada nasi goreng hati ayam, cukup puas dengan nasi goreng telur.

Bagaimana itu bisa bermula? Bertahun lalu, ketika aku ingin menjadi wanita yang baik (menurut acuanku), aku bertekad mengurangi api dalam tubuh. Aku seperti merasa panas dan bergolak ketika makan makanan hewani itu. Aku tidak jijik, hanya tidak sampai hati ketika memikirkan semua itu bermuara di perutku.

Awalnya, ibu tidak mendukung pilihan makananku. Alasannya sederhana. Sebulan sekali ketika aku pulang ke rumah, ibu ingin menggelar sayur dan lauk pauk di rumah. Ketika aku tidak mengambil lauk, ibu berujar kasihan sekali aku, badanku yang tipis tidak diisi secuil daging. Pada waktu itu aku tersenyum, mengambil sayur. Ini saja sudah cukup. Untuk beberapa waktu, aku bertahan.

Seorang pria yang hendak menjadi suamiku datang. Rupanya dia juga tidak sepakat dengan apa yang kulakukan. Membujukku untuk mau menyantap ikan, meski jika aku menghindari unggas dan mammals. Dengan menghela napas, terkadang jadilah kumakan ikan itu meski ada sedikit rasa tidak rela. Selama beberapa hari.

Rupanya tidak berhenti sampai di situ. Dikatankah bahwa tumbuhan dan hewan diciptakan untuk kepentingan manusia. Ya, aku sepakat dengan hal itu. Namun, aku teguh. Hingga tiba pada suatu ketika dikatakannya bahwa Rasulullah, seorang yang paling sempurna, pun menyantap makanan itu. Mendengar itu, jadilah aku tak bisa berbicara. Aku ingin menangis rasanya. Ya, benar. Rasulullah, sosok sempurna di atas segala sempurna pun dhahar itu pula. Selanjutnya aku tidak menolaknya lagi, tak ada daya untuk menolaknya. Bertahun kemudian, aku kembali menjadi omnivor (lagi).

Beberapa hari ini, sensasi itu muncul kembali. Tadi siang, misalnya, aku menyantap ikan air tawar. Belum juga habis setengahnya, tiba-tiba aku merasa tidak sanggup menghabiskannya. Aku merasa piringku sangat kotor. Segera kusingkirkan duri dan selainnya, hingga hanya menyisakan dagingnya yang putih. Kumakan pelan-pelan dengan terpaksa. Tidak bisa kubuang begitu saja. (Aku termasuk tipe yang berat hati menyisakan makanan di piring).

Sore harinya, biasanya aku beli sayur dan lauk di warung. Aku melihat jajaran lauk hewani tertata dengan rapihnya. Daging juga ikan. Perutku tiba-tiba bergejolak. Sepertinya tak mampu menampung makanan itu jika kubeli salah satu. Jadilah kupilih sop dan tahu goreng. Itu saja.

Ketika keinginanku kembali lagi, akankah kali ini berhasil? Akankah aku diterima? Aku masih mau telor dan susu, kok. Tidak ada maksud meniru agama lain. Sama sekali tidak ada. Aku hanya merasa lebih segar ketika perutku bersih.

Ataukah sebaiknya hanya kubilang pada mereka bahwa aku sedang mual dan tidak begitu suka daging dan ikan? Ya, sepertinya itu akan berhasil, untuk beberapa waktu.